Jumat, 04 April 2014

Konsep Nyeri


1.         Definisi Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya. Mengkaji nyeri individu mencakup pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dan juga faktor mental atau emosional yang mempengaruhi persepsi individu tentang nyeri. Intervensi keperawatan diarahkan pada kedua komponen tersebut (Smeltzer & Bare).
2.        Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen, yaitu :
a.         Reseptor A delta : merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b.        Serabut C : merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
2.3         Klasifikasi Nyeri
Menurut Long C.B (1996) klasifikasi nyeri berdasarkan jenisnya meliputi :
1)        Nyeri akut, yaitu nyeri yang berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan mendadak dari sebab yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi nyeri.
2)        Nyeri kronis, yaitu nyeri yang berlangsung enam bulan atau lebih, sumber nyeri tidak diketahui dan tidak bisa ditentukan lokasinya. Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu nyeri menetap.
Corwin J.E (1997) klasifikasi nyeri berdasarkan sumbernya meliputi :
1)        Nyeri kulit adalah nyeri yang dirasakan dikulit atau jaringan subkutis, misalnya nyeri ketika tertusuk jarum atau lutut lecet, lokalisasi nyeri jelas disuatu dermatum.
2)        Nyeri somatik adalah nyeri dalam yang berasal dari tulang dan sendi, tendon, otot rangka, pembuluh darah dan tekanan syaraf dalam, sifat nyeri lambat.
3)        Nyeri viseral adalah nyeri dirongga abdomen atau torak terlokalisasi jelas disuatu titik tapi bisa dirujuk kebagian-bagian tubuh lain dan biasanya parah.
4)        Nyeri psikogenik adalah nyeri yang timbul dari pikiran pasien tanpa diketahui adanya temuan pada fisik (Long, 1989 ; 229).
5)        Nyeri phantom limb pain adalah nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu ekstremitas yang telah diamputasi (Long, 1996 ; 229).
2.4         Respon Terhadap Nyeri
Ada beberapa respon yang diberikan/ditunjukkan oleh pasien ketika mengalami rasa nyeri, yaitu :
1.        Respon psikologis. Berkaitan dengan pemahaman pasien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi setiap individu yang berbeda-beda antara lain :
§   Bahaya atau merusak
§   Komplikasi seperti infeksi
§   Penyakit yang berulang
§   Penyakit baru
§   Penyakit yang fatal
§   Proses penyembuhan luka
2.        Respon fisiologis. Berkaitan dengan seberapa tingkat keparahan nyeri yang dirasakan. Dibagi menjadi 2, yaitu :
o    Respon simpatik : nyeri ringan, moderat, dan superficial.
o    Respon parasimpatik : nyeri berat dan dalam.
3.        Respon perilaku. Berkaitan dengan tingkah laku atau sikap yang terlihat ketika merasakan nyeri seperti :
·           Pernyataan verbal à mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur.
·           Ekspresi wajah à meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir.
·           Gerakan tubuh à gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan.
·           Kontak dengan orang lain/interaksi sosial à menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
2.5         Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri, dan mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain :
a)        Usia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b)        Jenis kelamin. Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
c)        Kultur. Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
d)       Makna nyeri. Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
e)        Perhatian. Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
f)         Ansietas. Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
g)        Pengalaman masa lalu. Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h)        Pola koping. Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
i)          Support keluarga dan sosial. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
2.6         Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama bisa dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda pula. Sedangkan pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut Smeltzer (2002) skala nyeri bisa dibagi menjadi 3 dengan penjelasan sebagai berikut.
1.        Skala intensitas nyeri. Bisa juga disebut dengan skala deskritif/ pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah alat pendeskripsi yang mengukur tingkat nyeri. Terdiri dari garis yang berjumlah tiga sampai lima kata pendeskripsi, disusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
2.        Skala identitas nyeri numerik. Disebut juga dengan Numerical Rating Scales (NRS). Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
3.        Skala analog visual. Disebut juga dengan Visual Analog Scale (VAS). VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
Keterangan

0
:
Tidak nyeri.
1-3
:
Nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6
:
Nyeri sedang (secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9
:
Nyeri berat (secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih merespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi denga alih posisi nafas panjang dan distraksi).
10
:
Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul).

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E.J. 1997. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Gibson, John. 1992. Diagnosa Gejala Penyakit Untuk Perawat. Penerbit Yayasan Essentia Media. Yogyakarta.
Long, C.B. 1996. Medical Surgical Nursing. Alih Bahasa oleh Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. Bandung.
Taylor, C., Carol L. & Pricilla L. 1997. Fundamental of Nursing : the Art and Science of Nursing. Lippicott Philadelphia.
Prianthara, Dhita. 2012. Konsep Nyeri. http://dhitaprianthara.blogspot.com/2012/02/konsep-nyeri.html. Diunduh pada tanggal 23 Mei 2012.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah volume 1. EGC. Jakarta.
Potter & Perry. 2006. Fundamental Keperawatan volume 2. EGC. Jakarta.
Destu, Fayl. 2010. Asuhan Keperawatan Klien dengan Nyeri. http://fayldestu.blogspot.com/2010/04/asuhan-keperawatan-klien-dengan-nyeri.html. Diunduh pada tanggal 23 Mei 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar